Relevansi Ikhtiar dan Takdir
Selang beberapa
hari, sakit giginya kambuh lagi. Ia pun melakukan pengobatan herbal seperti
yang pertama diperintahkan oleh Allah. Namun, aneh, bukannya sembuh, malah rasa
sakitnya tambah menjadi-jadi. Ia pun bermunajat kepada Allah swt:
فقال إلِهى أَلَسْتَ
أَمَرْتَنِي بِهَذَا وَدَلَّلْتَنِي عَلَيه فقال تعالى أنا الشَّافِي وأنا
المُعَافِي وأنا الضَّارُّ وأنا النَّافِعُ قَصَدْتَنِي فِى المَرَّةِ الأُوْلىَ
فَأَزَلْتُ مَرَضَكَ وَالآن قَصَدْتَ الحَشِيْشَةَ وَمَا قَصَدْتَنِي
"Nabi Musa
bermunajat: “Tuhanku, bukankah Engkau memerintahkanku dan menunjukkanku untuk ini?”. Lalu Allah Swt menjawab: “Aku-lah penyembuh, Aku-lah pemberi kebaikan,
Aku-lah yang mendatangkan mudlarat dan Aku pula yang mendatangkan kemaslahatan.
Waktu sakitmu yang pertama, kau mendatangi-Ku, karenanya, Aku sembuhkan
penyakitmu, tetapi kali ini, kau
langsung mendatangi rumput itu, bukan malah mendatangi-Ku.”.
Dari cerita ini bisa kita ambil tiga pelajaran sekaligus, yakni, pertama,
cerita ini membuktikan bahwa Allah-lah penentu segala. Tak ada sesuatu pun yang
luput dari ketetapan Allah swt, karena Dia-lah yang mengendalikan alam semesta
beserta isinya.
Kedua, seorang hamba tetap dianjurkan
selalu berikhtiar semampunya, kendati ending-nya tetap Allah swt yang
menentukan. Oleh sebabnya, dalam cerita tersebut, saat Nabi Musa mengadu rasa
sakit giginya, Allah tidak serta-merta langsung menyembuhkan begitu saja, Allah
swt tetap memerintahkan Nabi Musa untuk berikhtiar dengan melakukan pengobatan
herbal yang berupa rumput.
Sekalipun usaha yang kedua tidak membuahkan hasil sebagaimana yang
pertama, dan itu tambah memperkuat bahwa semuanya terkandung kehendak Allah swt,
dan ikhtiar manusia itu juga implementasi dari kehendak-Nya.
Hal ini selaras dengan jawaban Rasulullah saw saat ditanya oleh seorang
sahabat perihal praktik pengobatan:
عَنْ كَعْب بن مَالك قال : يا رَسُولَ
اللهِ أَرَأَيْتَ دَوَاءً نَتَدَاوَى بِهِ ورُقىً نَسْتَرْقِي بِهَا وَأَشْيَاءَ نَفْعَلُهَا
هَلْ تَرُدُّ من قَدَرِ الله ؟ قال :( يا كعْبُ بَلْ هِيَ مِنْ قَدَرِ اللهِ )
“Diriwayatkan
dari Ka’ab bin Malik, ia bertanya: “Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda tentang
pengobatan, ruqyah dan segala hal yang kami lakukan, apakah semua itu bisa
menolak takdir Allah?. Rasulullah saw menjawab: “Wahai Ka’ab, semua itu adalah
bagian dari takdir Allah”. (HR. Imam Muslim).
Ketiga, bahwa ikhtiar tersebut merupakan
perintah Allah. Karenanya ketika seseorang malas bekerja dengan alasan rezeki
sudah ditetapkan, tanpa sadar ia telah melalaikan perintah-Nya. Sehubungan
dengan ini Syekh Said Ramadhan al-Buti mengatakan: “Sikap kita kepada Allah harus sesuai dengan perintah-Nya, sedangkan terhadap sunah-Nya harus sesuai dengan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan oleh-Nya sebagai asas keteraturan alam. Allah memerintahkan
kita untuk makan bila lapar, minum bila dahaga, mencari obat bila sakit, dan menjaga kesehatan serta waspada dari segala hal-hal negatif. Kemudian Allah
juga memerintahkan kita untuk mengetahui dengan yakin bahwa tidak ada satupun
yang berbuat sesuatu selain Dirinya.
Inilah konsep korelasi antara takdir tuhan dan ikhtiar manusia yang
benar sesuai tuntunan dari Rasulullah, para sahabat dan para imam selanjutnya
(Ahlusunah wal Jamaah). Bukan seperti pemahaman aliran Qadariyah yang berani menyepelekan
tuhan dan mengklaim tuhan tak punya otoritas sedikitpun dalam perbuatan
hamba-Nya. Juga bukan sebagaimana ideologi Jabbariyah yang menganggap bahwa
manusia tak ubanya wayang yang tak bisa berikhtiar apapun, semuanya terserah si
dalang.
Afifuddin
Alhamdulillah dapat tambahan ilmu
BalasHapusmohon dukungannya
BalasHapusAlhamdulillah
BalasHapus