Diskursus Sanad dalam Sistem Pembelajaran Daring

 


Dalam sebuah syair untaian Abu Hayyan Al-Andalusi terdapat sebuah pelajaran, berikut syairnya:

ﻳَﻈُﻦُّ ﺍﻟﻐُﻤْﺮُ ﺃﻥّ ﺍﻟﻜُﺘْﺐَ ﺗَﻬْﺪِﻱْ # ﺃﺧَﺎ ﺟَﻬْﻞٍ ﻹﺩْﺭَﺍﻙِ ﺍﻟﻌُﻠُﻮْﻡِ

ﻭﻣَﺎ ﻳَﺪْﺭِﻱ ﺍﻟْﺠَﻬُﻮْﻝُ ﺑﺄﻥّ ﻓﻴْﻬَﺎ # ﻏَﻮَﺍﻣِﺾَ ﺣَﻴَّﺮَﺕْ ﻋَﻘْﻞَ ﺍﻟْﻔَﻬِﻴْﻢِ

ﺇﺫَﺍ ﺭُﻣْﺖَ ﺍﻟْﻌُﻠُﻮْﻡَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺷَﻴْﺦٍ # ﺿَﻠَﻠْﺖَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺼّﺮَﺍﻁِ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻘِﻴْﻢِ

ﻭَﺗَﺸْﺘَﺒِﻪُ ﺍﻷﻣُﻮْﺭُ ﻋَﻠﻴﻚَ ﺣَﺘّﻰ # ﺗَﺼِﻴْﺮَ ﺃﺿَﻞّ ﻣِﻦْ ﺗُﻮْﻣَﺎ ﺍﻟْﺤَﻜِﻴْﻢِ

Orang lalai mengira bahwa kitab-kitab dapat memberikan petunjuk kepada orang bodoh guna meraih ilmu

Padahal orang bodoh tidak tahu bahwa dalam kitab-kitab tersebut ada banyak pemahaman rumit yang mampu membingungkan orang yang pintar

Jika engkau menginginkan ilmu tanpa seorang guru maka engkau akan sesat dari jalan yang lurus.

Setiap persoalan akan menjadi kabur atas dirimu hingga kamu bisa saja menjadi lebih ‘tersesat’ dari Tuma al-Hakim.

Konon, Tuma al-Hakim adalah seorang yang otodidak dalam memahami agama. Suatu saat ia memahami sebuah hadits tanpa belajar kepada seorang gutu. Kal itu ia mendapati hadits dengan redaksi asli “al-Habbah as-Sawdâ’ Syifâ’ li kulli Dâ’.” Artinya, “Jinten hitam adalah obat untuk segala macam penyakit”.

Namun, Tuma al-Hakim mendapati huruf ba’ pada kata al-habbah dengan dua titik, menjadi huruf ya’, kemungkinan salah cetak. Ia pun membacanya menjadi al-Hayyah as-Sawda’  yang artinya ular hitam, bukan jinten hitam lagi. Suatu saat Tuma al-Hakim tengah diserang penyakit. Tanpa berpikir panjang, ia pun mencari ular hitam untuk dijadikan obat. Akibatnya kebodohannya yang belajar agama tanpa seorang guru, si Tuma mati mengenaskan terkena bisa ular yang hendak ia jadikan obat.

Cerita singkat ini memberikan pelajaran pada kita bahwa ilmu itu harus melalui bimbingan seorang guru, terlebih ilmu agama. Tanpa guru, bukan manfaat yang diperoleh, tapi justru sebaliknya. Di sinilah urgensitas sanad sangat dibutuhkan, karena dengan berguru maka sanad keilmuan kita terus bersambung kepada Rasululllah saw. Dengan demikian, ilmu yang kita peroleh bisa dipertanggungjawabkan, di samping juga pemahaman kita tidak melenceng jauh sebagaimana kasus Tuma di atas.

Namun sekarang, persoalan baru muncul dengan adanya kecanggihan teknologi informasi, kita bisa dengan mudah melahap semua informasi melalui media internet, termasuk belajar ilmu keagaaman. Jelas, kalau hanya mencukupkan diri belajar agama melalui media internet, ilmu yang kita dapat tidak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi soal ketersambungan sanadnya. Sebab, ilmu yang kita peroleh dikatakan sudah bersanad apabila kita berguru, baik proses belajar itu bertatap muka dengan guru dalam satu ruang maupun tidak, tetapi pada waktu sama sebagaimana dalam sistem pembelajaran daring yang sekarang marak guna mencegah penularan Covid-19.

Sejak virus Covid-19 ini menyerang Indonesia, pendidikan yang awalnya luring (luar jaringan) sebagaimana proses KBM biasanya, yakni bertemunya guru dan murid dalam satu ruang, sekarang menjadi pembelajaran daring (dalam jaringan) dengan memanfaatkan teknologi semisal google classroom, google meet, elmudo dan zoom.

 

Dalam sistem pembelajaran daring ini sejatinya seorang murid tetap menimba ilmu dari seorang guru, hanya saja tidak dalam satu tempat. Berbeda dengan sistem pembejaran luring yang sudah biasa dilakukan. Namun, tetap bermuara pada satu titik yang sama, yakni sama-sama belajar kepada seorang guru, dengan demikian, sanadnya tetap dikatakan terhubung.

Hanya saja, karena pembelajaran daring ini merupakan salah satu sistem, jelas pasti di sana ada kekurangan di samping juga ada manfaat. Namun, kekurangannya lebih banyak daripada manfaatnya. Beberapa minus yang ada dalam sistem pembelajaran daring yang dirasakan oleh semua pihak adalah jaringan internet yang lemot, kuota internet terbatas, KBM tidak efektif, misalnya pengurangan jam mengajar. Guru-guru yang biasanya mengajar 4 jam di sekolah, terpaksa hanya mengajar selama satu jam.

 

Dampak lanjutnya, peserta didik akan kesulitan memahami materi yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, selanjutnya pelajaran ini tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama karena banyak penurunan rumus. Itu artinya, waktu satu jam sangat tidak cukup.

 

Namun demikian, selama dalam sistem ini seorang murid masih berada dalam bimbingan gurunya, bukan dibimbing robot, maka dalam hal ketersambungan sanad tetap bisa dinyatakan terhubung, tidak seperti belajar langsung dengan membaca artikel-artikel lepas yang bertebarang di internet. Hanya saja terdapat banyak kekurangan yang sudah dijelaskan di atas.

 

Demikian penjelasan sekelumit ini sehubungan dengan sistem pembelajaran daring (dalam jaringan) yang kaitannya dengan pentingnya sebuah sanad atau mata rantai keilmuan yang merupakan bagian dari agama Islam. Juga sanad inilah yang membedakan Islam dengan agama-agama yang lain, baik itu agama samawi yang sudah mengalami distorsi maupun agama hasil kreasi manusia, seperti Budha, Konguchu, Hindu dan agama-agama produk budaya yang lain. Semoga bermanfaat.[]


Oleh: Afifuddin


 

 

 

 




Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Diskursus Sanad dalam Sistem Pembelajaran Daring"

Posting Komentar