Begini Seharusnya dalam Berdakwah
Geliat dakwah di Bumi Nusantara ini bisa dibilang baik
dari tahun ke tahun. Majlis taklim yang diisi dengan ceramah-ceramah keagamaan
menyeruak di mana-mana. Hal ini patut kita syukuri, karena bagaimana pun juga
kehadiran dai-dai dengan ceramahnya sangat dibutuhkan guna memberikan siraman
rohani agar jiwa-jiwa setiap orang menjadi sejuk, ujung-ujungnya tambah taat
kepada aturan agamanya dengan melakukan kebajikan dan menjauhi kejelekan. Allah
swt berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS.
Adz-Dzariyat [51]; 55).
Namun demikian, fakta yang tak bisa dipungkiri adalah
munculnya da’i da’i baru yang sejatinya belum layak menyandang sebutan dai
karena beberapa faktor, di antaranya ilmu agamanya kurang mumpuni, tidak
menguasai kitab kuning yang merupaka khazanah yang harus ditekuni, pengetahuannya
disuplai dari buku-buku terjemahan bukan referensi aslinya.
Pada akhirnya,
muatan-muatan pidato yang disampaikan cenderung salah, apalagi sampai ada
pertanyaan seputar hukum, malah jawabannya tak karuan. Tak hanya itu, pidatonya
juga tidak memberikan efek apa-apa pada pendengarnya. Fenomena seperti ini
sering kita jumpai dari dai-dai selebritis tahunan, yang terkadang mereka
mantan artis yang hijrah, katanya. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa kita
rangkum dalam beberapa hal di bawah ini:
Pertama, kurang membaca
referensi baik berupa turats maupun buku-buku bacaan yang lain. Efek
dari ini adalah materi yang disampaikan terkesan sama di tempat yang
berbeda-beda. Memang, tidak semuanya seperti itu tapi realita yang ada
demikian. Sebab itu,
memperbanyak membaca di samping menambah wawasan ilmu pengetahuan juga
menjadikan isi pidato berbobot dan enak didengar, tidak monoton dan sama. Hal
ini bisa kita rasakan antara mendengar pidato dari dai yang benar-benar alim
dengan pidato ustad dadakan, sangat berbeda. Kata orang sekarang, bainas-samâ’
wa sumur minyak. Pidato dari dai yang mumpuni ilmunya sarat dengan daging,
sedangkan dari ustad dadakan tinggal tulang belulang, adanya cuma melucu, kalau
sudah seperti itu apa bedanya ngaji dengan Warkop DKI.
Kedua, tidak memberikan uswah hasanah (teladan yang
baik) dalam kehidupan sehari-harinya. Kontradiksi antara lisan
dan tindakan. Kemana-mana selalu
menyampaikan mauidzah hasanah tapi minim uswah hasanah. Padahal
sebagaimana maklum, ucapan yang tak diimbangi dengan tindakan, hasilnya pasti
nihil, tak ada pengaruhnya sama sekali. Karenanya ada ungkapan:
لسان الحال أفصح من لسان المقال
“Perbuatan
lebih berpengaruh daripada ucapan”.
Memang tidak menjadi persyaratan tingkah laku
seseorang harus baik sebelum ia berdakwah menyeru orang lain agar bertingkah
laku baik. Hal itu hanya menjadi penyebab utama agar dakwah dan seruan
seseorang bisa diterima. Laksana seorang dokter tapi gudikan atau penjual jamu
tapi sering sakit-sakitan, maka bisa dipastikan tidak bakal ada orang yang mau
berobat kepadanya dan membeli jamunya. Selain itu, juga Allah swt murka kepada mereka yang mulut dan
tingkahnya tidak connect.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا
تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan. Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan”. (QS. Ash-Shaf [61]; 2,3).
Penyakit ini
paling banyak menjangkiti para da’i zaman now. Fanatisme mereka terhadap
organisasi seakan tidak sempurna sebelum berhasil membeberkan borok kelompok
atau organisasi yang lain, bahkan mengklaim hanya organisasi tertentu yang
lurus dan sesuai dengan ajaran ahlusunah wal jamaah, tanpa mau melirik terhadap
kebenaran organisasi yang lain.
Keempat, melupakan objek dakwah yang lebih dekat
Mestinya prioritas
dakwah itu menyentuh diri kita sendiri, lalu orang tua, keluarga, famili dan
tetangga, dan orang-orang dekat kita. Ini sesuai dengan tuntunan al-Quran:
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
0 Response to "Begini Seharusnya dalam Berdakwah"
Posting Komentar