Menilik Status Hukum Prank

 


Prank merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang memiliki arti gurauan, lelucon, senda gurau, dan kelakar. Prank kerap dimaknai sebagai sesuatu lelucon yang diatur seolah-olah serius, tapi ternyata hanya bohongan dengan tujuan supaya target prank merasa kaget, terkejut, atau bahkan merasa malu.

Dalam tataran praktiknya, prank sendiri pada umumnya akan menimbulkan keresahan dan rasa tidak nyaman pada korbannya. Meskipun terkadang berhasil memancing tawa, tetapi tidak sedikit juga yang membuat para korban merasa ketakutan, resah bahkan emosi.

Fenomena semacam ini sudah lama viral utamanya di media sosial seperti di Youtube, Tiktok, Snack Video dan semacamnya. Jelas, tujuan pelaku prank itu demi menaikkan rating akun dan channelnya, tanpa melihat efek yang akan ditumbulkan.

Dalam konten-konten video yang beredar memang ada prank yang hanya membikin targetnya ketawa, tanpa ada rasa marah kepada tukang prank. Namun ada juga prank yang sampai membuat korban naik pitam, bahkan menghajar habis-habisan si pelaku. Hal itu dilakukan karena si korban merasa sakit hati. Lebih parah lagi, hasil prank itu diunggah ke laman youtube yang pastinya membikin malu korban.

Tindakan prank semacam ini sangat dilarang oleh Islam bahkan haram karena jelas di dalamnya mengandung unsur membahayakan dan menyakiti pihak korban. Kendatipun akhirnya korban tertawa tapi paling tidak ia merassa risih, kaget, bahkan ketakutan. Belum lagi yang memang punya penyakit jantung, bisa-bisa ia terkapar saat itu karena saking kagetnya.

Semua ini tentu dengan melihat efek yang ditimbulkan oleh prank tersebut kepada korban, walaupun ada juga prank yang tidak sampai membayakan, tapi rata-rata efeknya sangat parah dan bisa jadi terjadi baku hantam antara pelaku dan korban, ketika korban tidak terima terhadap perlakuan itu.

Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda saat ada seseorang yang iseng menyembunyikan sandal temannya ketika ia tertidur pulas. Hadits ini dikutip dalam Az-Zawâjir an Iqtirâfil-Kabâir:

عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَجُلًا أَخَذَ نَعْلَ رَجُلٍ فَغَيَّبَهَا وَهُوَ يَمْزَحُ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تُرَوِّعُوا الْمُسْلِمَ فَإِنَّ رَوْعَةَ الْمُسْلِمِ ظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dari Amir bin Rabi’ah ra: “Sesungguhnya ada seseorang berguraw dengan mengambil sandal orang lain lalu menyembunyikannya, kemudian hal itu diceritakan kepada Rasulullah saw. Nabi saw pun bersabda: “Janganlah kalian menakut-nakuti orang Islam karena tindakan itu merupakan penganiayaan yang besar”. (HR. Imam ath-Thabarani).

Dalam kasus lain, ada seseorang yang menakut-nakuti temannya dengan menaruh seutas tali di dekat temannya saat ia tidur. Sontak saja, teman tersebut langsung blingsatan karena dikira tali itu ular yang akan mematuknya. Kasus inilah yang menjadi sababul-wurud (penyebab munculnya) sabda Rasulullah saw berikut:

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

“Tidak halal bagi seorang muslim menakuti-nakuti muslim (lainnya)”. (HR. Imam ath-Thabarani dan Imam Abu Dawud).

Dalam Hadits lain Rasulullah saw bersabda:

مَنْ أَشَارَ إلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَنْتَهِيَ وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ

“Barang siapa yang menodongkan benda tajam kepada saudaranya sesungguhnya malaikat melaknatnya hingga ia berhenti (melakukan penodongan), kendatipun ia saudara kandungnya”. (HR. Imam Muslim).

Dari beberapa hadits ini Imam Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan, kalau memang tindakan menakut-nakuti itu berdampak sebuah ketakukan yang parah dari pihak korban yang tidak sanggup dihadapi oleh orang pada umumnya maka hukumnya haram. Bahkan bisa berstatus dosa besar jika ketakukan tersebut berujung pada bahaya yang mengancam tubuh korban atau akalnya.

Dengan demikian, pernyataan Ibnu Hajar di sini memerinci terkait hukum prank tersebut dan beliau lebih melihat kepada efek yang ditimbulkan, bukan pada esensi dari prank tersebut. Namun demikian, seyogyanya kita menjuhi perbuatan merugikan orang lain itu, karena bagaimana pun pihak korban merasa risih dan resah. Di samping itu bisa juga akan menghilangkan wibawa dari seseorang.

Sehubungan dengan hal ini, Imam Al-Ghazali dalam Ihya’-nya menyatakan bergurau yang dilarang dan tercela adalah yang dilakukan terus-menerus dan yang keterlaluan. Semua itu menyebabkan seringnya tertawa dan gaduh, menurunkan wibawa. Adapun gurauan-gurauran yang tidak seperti disebutkan di atas, tidak masalah sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Saya bergurau dan tidak mengatakan sesuatu kecuali yang benar”.

Dengan demikian, jika kita mampu bergurau yang muatannya hanya kebenaran, juga tidak keterlaluan, tidak menyakiti hati seseorang serta tidak menjadikannya sebagai rutinitas, maka semua itu tidak menjadi persoalan.

Merujuk kepada dua pendapat ulama besar ini, maka status haram dan tidaknya tindakan prank meninjau efek yang ditimbulkan juga isi dari prank tersebut. Namun demikian, seyogyanya kita menghindari perbuatan yang kebanyakan menimbulkan mafsadah itu, agar kita masuk kategori dalam ayat:

 وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dan jika mereka bertemu dengan (orang-orang) yang melakukan perbuatan tidak berguna, mereka lalui saja dengan dengan menjaga kehormatan dirinya”. (QS. Al-Furqon [25]; 72).

Oleh: Afifuddin

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Menilik Status Hukum Prank"

Posting Komentar