Urgensitas Agama dalam Kemajuan Peradaban
Abdullah Nasih Ulwan dalam salah satu bukunya, Ma’âlimul-Hadlârah fil-Islâm wa Atasruhâ fi Nahdlatil-Urubiyah menyatakan bahwa sebuah peradaban atau kemajuan harus memiliki dua unsur penting, yakni pertama kemajuan materi yang mencakup seluruh lini kehidupan, semisal industri, perdagangan, pertanian, kerajinan, dan seni. Kedua, sisi maknawi yang kaitannya dengan nilai-nilai spritualitas, moral dan etika, dan produk pemikiran.
Lebih miris lagi, kemajuan dalam
bidang-bidang tersebut dijadikan alat oleh para penguasa untuk menyulut api
peperangan yang dampaknya ribuan jiwa manusia melayang begitu saja, sebagaimana
dalam sejarah Perang Dunia pertama dan kedua. Seperti yang sudah dimaklumi
bersama, bahwa kemajuan industri dan teknologi kala itu, telah memaksa manusia
menjadi bangsa beringas, menjajah bangsa lain, menindas, bahkan melakukan
genosida.
Semua itu adalah efek dari sebuah
peradaban yang hanya menonjolkan satu sisi saja, yaitu sisi material, tanpa
membenahi dan meningkatkan sisi yang lain yang justru jauh lebih urgen karena
bisa menjadikan peradaban yang memanusiakan manusia. Bukan sebaliknya,
membantai manusia layaknya hewan yang tak punya harga.
Dengan demikian, maka dalam setiap
peradaban harus ada dua komponen pokok di atas, yakni nilai spritual dan
material. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Artinya,
jika ada sebuah peradaban yang hanya memprioritaskan pada satu sisi saja, maka
ia tak patut disebut peradaban yang maju.
Nilai spritual yang dimaksud adalah
nilai agama yang merupakan fondasi pokok dalam setiap kemajuan peradaban,
sebab, bagaimana pun juga, setiap manusia yang masih waras pasti membutuhkan
agama sebagai jalan penuntun hidupnya.
Dengan kata lain bahwa agama bukan
hanya partikel-pertikel kecil dalam sebuah kehidupan, baik kehidupan individu
maupun berbangsa dan bernegara. Agama adalah matriks dan pandangan hidup yang
melaluinya seluruh aktifitas manusia, mulai dari bangun tidur sampai tidur
kembali, mulai sejak lahir sampai menuju tempat peristirahtan terakhir,
mengambil tempat atau posisinya.
Mudahnya, dengan agama sebuah
peradaban akan berdiri dengan megahnya, sebaliknya, tanpa agama, ia tak ubahnya
seperti bangunan pencakar langit yang fondasinya berada di permukaan tanah,
tidak menghujam ke bumi. Pada waktunya bagunan itu akan roboh dan
porak-poranda.
Pernyataan ini bukanlah berangkat
dari asumsi dan isapan jempol belaka, karena semuanya telah terbukti melalui
sejarah panjang peradaban manusia. Kita ambil contoh kecil saja, sebuah
peradaban masyarakat Arab pra Islam yang nota bene kehidupannya bergaya
hedonis.
Sebelum Islam hadir, masyarakat Arab
bisa dikatakan memiliki peradaban yang mapan dalam beberapa aspek, mulai aspek
politik sampai perekonomian yang mencakup pertanian, perkebunan dan perniagaan.
Kala itu, masyarakat Arab terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Arab Badui
(kampung) dan Arab Hadhari (perkotaan).
Untuk bertahan hidup, warga Arab
Badui menggantungkan sumber kehidupannya dengan beternak. Mereka hidup secara
nomaden sambil menggiring ternak mereka menuju daerah dengan curah hujan
tinggi. Mereka mengonsumsi daging dan susu hasil ternak, membuat pakaian,
kemah, dan perabot dari wol.
Adapun Arab perkotaan memiliki dua
bagian, yaitu penduduk yang tinggal di wilayah subur, seperti Yaman, Thaif,
Madinah, Najd, Khaibar, dan Mekah. Penduduk wilayah tersebut menggantungkan
sumber kehidupannya melalui pertanian dan perniagaan, terutama mereka yang
tinggal di Mekah. Kala itu, Mekah merupakan pusat perniagaan. Bahkan perniagaan
mereka itu bukan hanya dalam skala lokal tapi sudah go internasional, dengan
cara eksport dan import produk dari Syam, dan lainnya.
Penduduk Yaman lebih hebat lagi. Kegiatan
bisnis mereka tidak sebatas di darat, tetapi juga merambah melintasi laut. Mereka
terbiasa berangkat ke daerah pesisir Afrika, seperti Habasyah (Ethiopia),
Sudan, Somalia, bahkan ke Hindia dan Pulau Jawa, Sumatera, serta negara-negara
di Asia lainnya untuk berdagang.
Namun semua itu hanyalah ranah
duniawi saja, sementara rohani mereka kering, gersang bahkan lebih gersang
daripada daerah yang mereka tempati. Terbukti, mereka terbiasa melakukan
hal-hal buruk bahkan tidak manusiawi, semisal mengubur hidup-hidup anak
perempuan dengan dalih perempuan hanya menjadi beban keluarga. Belum lagi
perbuatan tercela lainnya, seperti mabuk-mabukan, berjudi, dan berzina.
Setelah Islam hadir dan menanamkan
nilai-nilai peradaban yang sesugguhnya, maka jazirah Arab tampil sebagai bangsa
yang berperadaban mulia, bukan hanya maju dalam ekonomi, bisnis, politik, tapi
juga berkembang dalam bidang pemikiran dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari
Islam.
Setidaknya ada tiga poin penting
mengapa bangsa Arab pasca Islam sangat maju kala itu, bahkan mengalahkan
bangsa-bangsa Eropa. Pertama, berubahnya pandangan hidup dan keyakinan mereka.
Inilah sebenarnya yang menjadi poros adanya perubahan bangsa Arab. Mereka yang
semula menyembah berhala beralih menyembah Allah swt dengan kualitas tauhid
yang bukan abal-abal.
Kedua, adanya transmisi keilmuan.
Transmisi ini dimulai dari wahyu pertama turun yang mengandung perintah agar
kita senantiasa banyak membaca guna menambah wawasan keilmuan. Karena bagaimana
pun juga, keilmuan tidak bisa dicerabut dari akar peradaban. Ibnu Khaldun
menyatakan dalam al-Muqaddimah-nya, bahwa sentral peradaban ada pada
keilmuan.
Ketiga, transmisi metodologis.
Transmisi ini diyakini sangat berperan penting dalam gerak pemikiran manusia.
Sebab tanpa adanya metode, sulit untuk mencapai tujuan, kendati sudah berusaha
sekuat tenaga.
Dari sini bisa dipahami bahwa
kemajuan beradaban tak akan ada artinya jika mengabaikan peran Islam di
dalamnya, karena hanya Islam lah yang dapat memberikan jawaban atas persoalan
yang menimpa masyarakat dan menuangkan ajarannya yang laksana air bening yang
mampu menghilangkan dahaga batin manusia mulai dari zaman purba sampai zaman
hancurnya dunia.[]
Oleh: Afifuddin
0 Response to "Urgensitas Agama dalam Kemajuan Peradaban"
Posting Komentar