Memahami Diskursus Keragaman Pendapat Ulama

 


Perbedaan merupakan sunnatullah yang menjadi keniscayaan di muka bumi ini. Dalam artian, kita tidak mampu menolak perbedaan tersebut. Allah swt berfirman:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

 

Artinya: “Kalau Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah [05]; 48).

Sebagaimana maklum, secara garis besar perbedaan pendapat bisa dijadikan dua kategori, yakni perbedaan variatif dan perbedaan kontradiktif. Jenis perbedaan pertama masih bisa diterima karena sejatinya muaranya sama, tetapi tidak demikian dengan perbedaan tipe kedua.

 

Contoh mudahnya, perbedaan dalam memahami makna auliyâ’ dalam al-Qur’an. Ada yang memaknai teman, mitra, bahkan pemimpin. Semuanya sama, sebab bermuara pada satu titik yang sama, inilah yang disebut perbedaan variatif, dan semua pendapat itu bisa diterima. Berbeda jika kata auliya’ itu diartikan sebagai musuh, maka pendapat itu tertolak, sebab kontradiktif.

 

Oleh karena itulah, tidak semua perbedaan pendapat bisa kita ambil semuanya. Tidak semua perbedaan (khilâf) itu dapat diperhitungkan (mu’tabar), kecuali perbedaan pendapat yang memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini selaras dengan ungkapan berikut:

 

وَلَيْسَ كلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعتبراً  إِلاَّ خلافٌ لَهُ حظٌ مِنَ النَّظرِ

 

“Tidak semua perbedaan pendapat dapat diterima, kecuali pendapat yang memiliki dasar yang kokoh”.

 

Sehubungan dengan ini, para ulama telah memberikan pakem-pakem dalam menimbang setiap perbedaan pendapat. Artinya, tidak semua perbedaan pendapat ulama langsung kita lahap begitu saja, tanpa mengetahui apakah landasannya kuat atau rapuh.

 

Imam Izzuddin bin Abdissalam yang menyandang predikat sultan para ulama memberikan batasan dalam hal ini sebagaimana termaktub dalam Qawâ’idul-Ahkâm fî Mashâlihil-Anâm-nya:

 

والضابط في هذا أن مأخذ المخالف إن كان في غاية الضعف والبعد من الصواب فلا نظر إليه ولا التفات عليه إذا كان ما اعتمد عليه لا يصح نصه دليلا شرعا، ولا سيما إذا كان مأخذه مما ينقض الحكم بمثله.

“Pakem dalam persoalan (khilâfiyah) ini adalah jika dalil yang dijadikan acuan oleh pendapat yang berbeda sangat rapuh dan jauh dari kebenaran maka pendapat tersebut tak perlu dihiraukan. Lebih-lebih dalil pijakannya kontradiktif dengan permasalahan hukum yang sama”.

 

Hal serupa juga ditegaskan oleh Imam Tajuddin As-Subki dalam al-Asybâh wan-Nadhâir-nya. Beliau menambahkan, hal yang mesti diperhatikan dalam masalah khilafiyah adalah kuat dan tidaknya madrak (daya nalar) seseorang dalam memahami teks-teks dalil, bukan orangnya.

 

Oleh sebab itu, seorang mujtahid yang madrak-nya kuat maka perbedaan pendapatnya layak diperhatikan, kendati level ijtihadnya masih di bawah mujtahid lain yang berbeda padangan dengannya. Sebaliknya, sekalipun strata seorang mujtahid itu lebih tinggi, tetapi madrak-nya masih kalah jauh dalam memahami persoalan dengan mujtahid di bawahnya, maka perbedaan pandangannya juga tak dianggap.

 

Demikian ini bisa terjadi, karena terkadang madrak seorang mujtahid kuat dalam memahami sebuah persoalan hukum, tetapi justru rapuh dalam persoalan yang lain. Hal ini tak jarang dialami oleh para ulama mujtahid dan yang jelas, daya nalar masing-masing individu tidaklah sama.

 

Dengan demikian, titik kulminasi dari diterima dan tidaknya sebuah pendapat terletak pada kuat dan tidaknya madrak seseorang dan pastinya seseorang yang dimaksud adalah ulama yang kapasitas keilmuannya mumpuni, bukan orang biasa, sebab mereka lah yang bisa memahaminya.

 

Karena itulah, Imam Asy-Syathibi menjawab dengan lugas dan tegas sebuah pertanyaan mengenai bagaimana caranya untuk mengetahui sebuah pendapat itu layak diperhitungkan atau tidak. Beliau menjawab:

 

أنه من وظائف المجتهدين ، فهم العارفون بما وافق أو خالف وأما غيرهم ، فلا تمييز لهم في هذا المقام  

 

“Hal itu merupakan tugas para mujtahid. Mereka lah yang bisa mengetahui pendapat yang tepat dan yang salah. Selain mereka tak kan mampu melakukannya”.

 

Namun yang jelas rata-rata madrak para ulama dalam memahami nash-nash wahyu baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun hadits sangatlah kuat, sehingga kemungkinan adanya perbedaan yang kontradiktif sangat kecil. Utamanya perbedaan dalam ranah yurisprudensi Islam atau hukum syariat. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Imam Asy-Syathibi berikut ini:

 

الخلاف الذي لا يعتد به قليل

 

“Perbedaan pendapat yang tidak dianggap itu sedikit”

 

Beda halnya jika pendapat itu muncul dari madrak yang lemah, maka tidak ada toleransi dalam hal ini, seperti pendapat-pendapat berikut ini:

 

Pertama, pendapat yang berbenturan dengan nash-nash absolut dalam Islam yang ada pada sumber paling primer yakni al-Quran dan Sunnah. Kedua, pendapat yang berseberangan dengan konsensus (ijmak) para ulama. Ketiga, pendapat yang bertolak belakang dengan tujuan-tujuan syariat dan kaidah-kaidah kemaslahatan yang memang menjadi tujuan dari adanya syariat tersebut. Keempat, pendapat yang sudah diberi ultimatum oleh para ulama untuk tidak diikuti.

 

Pendapat-pendapat ini sekalipun terkadang termaktub dalam literatur-literatur keislaman klasik, bukan berarti kita boleh mengamalkannya, sebab alasan ulama mencantumkan pendapat tersebut di karang mereka hanya bertujuan menginformasikan kalau pendapat itu tak layak diikuti.

 

Demikain sekelumit penjelasan mengenai ragam pendapat serta batasan-batasan pendapat yang boleh kita ikuti atau kita tolak mentah-mentah. Semoga bermanfaat.[]


Oleh: Afifuddin


Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Memahami Diskursus Keragaman Pendapat Ulama"

Posting Komentar