Pengaruh Tradisi dalam Penetapan Hukum
Sumber hukum (mashâdirut-tasyrî’) diklasifikan ke dalam dua bagian, yakni pertama, sumber hukum yang disepakati (mujma’ alaih), kedua, sumber hukum yang masih dalam ranah perdebatan (mukhtalaf fih). Sumber hukum yang pertama adalah al-Qur’an, Hadits, konsensus ulama, dan qiyâs. Sementara sumber hukum yang kedua seperti mashlalah mursalah, syariat umat terdahulu (syar’u man qablanâ), istihsân, istishhâb, mazhab para shahabat, dan tradisi atau adat.
Dengan demikian, sumber hukum itu
bukan hanya terpaku pada dua hal, Al-Qur’an dan Hadits saja, sebagaimana
anggapan segelintir orang yang sok kembali kepada ajaran salaf saleh dengan
slogan perangkapnya, kembali kepada al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw.
Betapa sempitnya hukum jika sumbernya hanya dua.
Tak jarang, ulama tempo dulu,
kerapkali menggunakan tradisi sebagai pijakan dalam mencetuskan sebuah hukum.
Imam Malik misalnya, seringkali membangun hukum-hukum fikihnya berdasarkan
tradisi shahabat yang ada di Madinah yang kemudian dikenal dengan istilah عمل أهل المدينة , demikian juga Imam Abi Hanifah serta para
pengikutnya tidak jarang yang beda pendapat karena perbedaan tradisi yang
dihadapi oleh mereka. Bahkan, Imam asy-Syafii sendiri memiliki dua pendapat
yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Semua itu karena
dipicu oleh perbedaan tradisi yang terjadi di dua negara tempat beliau mukim,
yakni Baghdad dan Mesir.
Sehubungan dengan salah satu sumber
hukum yang masih diperselihkan oleh para ulama, yakni tradisi, ada hal-hal yang
perlu diperhatikan. Maksudnya, tidak semua tradisi bisa dijadikan pijakan dalam
mencetuskan sebuah hukum. Para ulama sudah memberikan aturan tersendiri terkait
hal ini. Namun, sebelum itu, ada baiknya, kita mengetahui makna tradisi yang
ada dalam pembahasan fikih.
Syekh Abdul Wahhab Khallaf dalam
kitabnya Ilmu Ushulil-Fiqh memberikan definisi tradisi setelah mengakomodir
beberapa pengertian dari para ulama. Beliau menyatakan:
العرف هو ما تعارفه الناس
وساروا عليه من قول أو فعل أو ترك
“Tradisi
adalah segala sesuatu yang dikenal khalayak dan menjadi kebiasaan mereka baik
berupa ucapan, maupun kebiasaan yang dikerjakan atau ditinggalkan”.
Mengacu
kepada pengertian ini, berarti tradisi itu cakupannya luas. Ia bukan hanya
berupa tindakan, tetapi juga ungkapan, bahkan kebiasaan yang sudah ditinggalkan
juga menjadi bagian tradisi itu sendiri.
Ada
beberapa dalil yang memberikan legitimasi terhadap tradisi sehingga bisa
dijadikan salah satu sumber hukum. Dalil-dalil tersebut ada di al-Qur’an,
Hadits dan atsar (pendapat) sahabat. Adapun atsar sahabat yang
dimaksud adalah atsar dari Abdullah bin Mas’ud yang menyatakan:
ما رآه المسلمون حسنًا فهو عند اللَّه حسن
“Setiap
sesuatu yang dianggap baik oleh orang Islam maka menurut Allah swt hal itu juga
baik”.
Dalil
haditsnya adalah sebagai berikut:
عن
ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قدِم المدينة وهم يسلفون
في الثمر السنة والسنتين . فقال: (مَن سلَّفَ فليسلِّف في كيل معلوم ووزن معلوم وأجل
معلوم)
“Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas ra bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, masyarakat di
sana (terbiasa) melakukan transaksi akad salam terhadap buah selama
setahun atau dua tahun. Rasulullah saw pun bersabda: “Barang siapa yang berakad
salam maka lakukanlah dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan
tempo yang jelas”.
Allah
swt berfirman:
خُذِ
العَفْوَ وَأْمُرْ بالعُرْفِ وأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ
“Jadilah
engkau pemaaf dan perintahkanlah orang untuk mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
dari orang-orang bodoh”. (QS. Al-A’raf [07]; 199).
Maksud
kata al-Urf dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang dikenal oleh
masyarakat dan menjadi kebiasaan di kalangan mereka, demikian menurut Imam Ibnu
As-Sam’ani, sebagaimana dikutip oleh KH. Sahal Mahfudz dalam salah satu
kitabnya, Tharîqatul-Hushûl. Sebagian ulama menambahkan tradisi
yang dimaksud dalam ayat itu harus tidak berseberangan dengan syariat.
Dari
sinilah kemudian, muncul salah satu kaidah yang digagas oleh para ulama yang tertuang
dalam beberapa literatur fikih klasik. Kaidah tersebut kemudian menjadi kaidah
kunci yang memiliki turunan atau gugusan kaidah-kaidah lainnya. Kaidah itu
adalah:
العادة
محكمة
“Tradisi
bisa dijadikan hukum”.
Sedangkan
turunan atau cabang kaidah kunci ini adalah الثابت
بالعرف كالثابت بالنص (Ketetapan berdasarkan tradisi sama halnya
ketetapan berdasarkan nash, al-Qur’an dan Hadits), إستعمال
الناس حجة يجب العمل به (Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar
hukum yang harus diamalkan), تغير الأحكام بتغير الزمان (perubahana
hukum disebabkan perubahan zaman),
dan gugusan kaidah lainnya.
Namun
demikian, kaidah ini tentu saja mengharuskan adanya relevansi dan tidak
berbenturan dengan nilai dan prinsip agama. Oleh sebab itu, para ulama
menetapkan beberapa syarat bagi tradisi yang mendapatkan legalitas dan bisa
dijadikan sumber hukum. Lalu syarat-syarat ini juga dijadikan sub kaidah atau
bagian kaidah kunci di atas. Berikut syarat-syaratnya:
Pertama, tradisi tersebut harus masih tetap
eksis atau berlaku dalam setiap waktu dan mendominasi. Dari sini muncul kaidah إنما تعتبر العادة إذا اطردت أو غلبت
Kedua,
tradisi tersebut umum dilakukan orang banyak bukan individu. Hal ini sesuai
dengan kaidah العبرة
للغالب الشائع لا للنادر .
Ketiga,
tradisi tersebut tidak muncul setelah adanya ketetapan hukum. Gampangnya,
tradisi itu sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, tradisi yang muncul
belakangan setelah adanya ketetapan hukum maka tidak bisa dijadikan hujah. Dari
syarat ini muncullah sebuah kaidah لا عبرة بالعرف الطارئ .
Tentunya,
selain syarat-syarat di atas, ada satu syarat yang paling krusial, yakni
tradisi yang ada tidak berbenturan dengan nash (al-Qur’an dan Hadits),
konsensus ulama, serta qiyâs.
Demikian
sekelumit penjelasan tentang ketetapan hukum menggunakan pendekatan pengaruh
tradisi terhadapnya. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak menerima tradisi
masyarakat menjadi sebuah produk hukum selagi tradisi yang ada sudah sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh para ulama.[]
Oleh: Afifuddin
0 Response to "Pengaruh Tradisi dalam Penetapan Hukum"
Posting Komentar